Perekonomian Indonesia pada tahun
2012 menunjukkan kinerja yang cukup baik di tengah situasi perekonomian global
yang masih dibayang-bayangi oleh berbagai ketidak-pastian, seperti prospek pemulihan
ekonomi di kawasan Eropa (terutama di negara yang mengalami krisis hutang,
yaitu Yunani, Italia, Irlandia, Potugal dan Spanyol) dan ancaman jurang fiskal
(fiscal
cliff) di AS akibat
perbedaan sudut pandang dan kepentingan antara Pemerintahan Barrack Obama
(Partai Demokrat) dengan Konggres yang didominasi oleh Partai Republik, terkait
strategi kebijakan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, efisiensi
pengeluaran negara terutama pengurangan pengeluaran untuk perlindungan sosial,
serta batasan hutang dan defisit anggaran pemerintah AS. Krisis tersebut turut
berimbas pada penurunan permintaan eksternal dan perlambatan aktivitas
perekonomian di Asia, termasuk China dan India.
Data BPS menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2012 bila dibandingkan triwulan
III-2011 tercatat sebesar 6,17% (yoy) dan secara kumulatif mencapai
sebesar 6,29% bila dibandingkan periode yang sama tahun 2011 (ctc). Besaran PDB atas dasar harga
berlaku secara kumulatif pada triwulan III-2012 mencapai sebesar Rp. 6.151,6
trilyun. Bank Indonesia memperkirakan bahwa pertumbuhan pada triwulan IV-2012
akan mencapai 6,2%, sehingga pertumbuhan untuk keseluruhan tahun 2012 akan
mencapai sekitar 6,3%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan trend yang
terus meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia sejak triwulan II-2012 merupakan pertumbuhan terbesar kedua di Dunia
setelah China yang meskipun mencatat angka 7,7% namun trendnya menurun
dibandingkan triwulan sebelumnya (Firmanzah, 2012). Dengan demikian tingkat
pertumbuhan Indonesia kembali berada di atas rata-rata tingkat pertumbuhan
dunia yang pada tahun 2012 diprediksi sebesar 3,5%.
Sebagaimana terlihat dalam Grafik
dan Tabel I, dalam 10 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat
stabil di kisaran 5,5% ± 1% dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 6,11%. Sejak
tahun 2007 hingga 2012, tingkat pertumbuhan hampir selalu di atas 6% dengan
pengecualian tahun 2009 (4,6%) sejalan dengan krisis ekonomi global akibat
kegagalan sektor kredit properti (subprime mortgage crises) dimana sebagian besar negara
bahkan mengalami pertumbuhan minus. Trend tersebut berbeda bila dibandingkan
dengan Singapura yang memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 6,55%,
namun fluktuasinya sangat tinggi mulai dari 14,7% (2010) setelah mengalami
kontraksi -1,3% (2009). Demikian pula halnya dengan Thailand, Malaysia, Brunei
Darussalam yang tidak lepas dari imbas krisis global tahun 2009, sehingga turut
mengalami pertumbuhan yang minus. Pertumbuhan ekonomi Vietnam memang
menunjukkan tingkat yang selalu lebih tinggi dibandingkan Indonesia dari
periode 2002 hingga 2010, namun terlihat mulai mengalami overheating dan melambat pertumbuhannya.
Sedangkan Myammar dengan skala perekonomiannya yang masih terbatas dapat
mencapai pertumbuhan di atas 10% (double digit) pada periode 2002 hingga 2007 dan
di masa mendatang berpotensi untuk terus tumbuh sejalan dengan reformasi dan
keterbukaan politik yang ditempuh oleh Pemerintah Myammar.
Grafik dan Tabel I : Pertumbuhan
Ekonomi di ASEAN, China dan India (2002-2012)
Ketahanan ekonomi Indonesia terhadap
imbas krisis keuangan global tidak terlepas dari karakteristik ekonomi nasional
yang ditopang oleh konsumsi domestik dan pembentukan modal tetap bruto
(investasi). Hingga triwulan III-2012 seperti terlihat dalam Tabel II, Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia didominasi oleh pengeluaran Konsumsi Masyarakat
(54,79%), diikuti oleh PMTB (37,58%), pengeluaran Pemerintah (8,24%). Tekanan
pelemahan ekonomi global berimbas pada penurunan harga komoditas (seperti
batubara, nikel, tembaga dan CPO) dan pengurangan permintaan dari negara tujuan
ekspor, telah menyebabkan melambatnya kinerja ekspor nasional dan terjadi
defisit ekspor terhadap impor sebesar -0,61% dari PDB. Meskipun kinerja ekspor
secara nominal terus meningkat (23,1% dari PDB), namun kebutuhan impor barang
modal dan bahan baku/antara untuk kebutuhan produksi yang terus meningkat
(23,7% dari PDB) telah menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit
(minus).
Tabel II :
Produk Domestik Regional Bruto Indonesia (2010-2012)
Kinerja perekonomian pada triwulan
III-2012 meningkat 3,21% dibandingkan triwulan sebelumnya (II-2012), yang
berarti lebih besar dibandingkan peningkatan pada triwulan II-2012 terhadap
triwulan I-2012 sebesar 2,80% (qtq). Komponen PMTB tumbuh sebesar 2,94%
(qtq), diikuti Konsumsi Masyarakat sebesar 2,71%.Sedangkan komponen pengeluaran
yang mengalami penurunan adalah Pengeluaran Pemerintah (-0,07%), Ekspor
(-0,21%) serta Impor (-8,36%). Apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama
pada tahun 2011, laju pertumbuhan komponen pengeluaran PMTB mencapai 10,02% dan
komponen konsumsi masyarakat mencapai 5,68%.
Dari sisi lapangan usaha, seluruh
sektor perekonomian Indonesia pada triwulan III-2012 mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan sebelumnya (qtq). Pertumbuhan terbesar terjadi pada
sektor Pertanian (6,15%), sektor Pengangkutan dan Transportasi (4,20%), sektor
Industri (3,99%), dan sektor Konstruksi (3,79%). Sedangkan jika dibandingkan
dengan periode triwulan yang sama tahun 2011 (yoy), maka terdapat 5 sektor yang
memiliki pertumbuhan melebihi angka pertumbuhan PDB (6,17%), terutama
sektor-sektor yang padat modal, seperti: sektor Pengangkutan dan Komunikasi
(10,48%), sektor Konstruksi (7,98%), sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa
Perusahaan (7,41%), sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (6,91%). Sedangkan
sektor yang berpotensi padat karya yang dapat tumbuh di atas pertumbuhan PDB
hanyalah sektor Industri (6,36%). Di sisi lain sektor Pertambangan yang padat
karya menjadi satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan minus (-0.09%)
akibat dampak dari penurunan permintaan global.
Stabilitas
perekonomian nasional sepanjang tahun 2012 tercermin pula dari tingkat inflasi
yang mencapai 4,3%, atau sedikit di atas tingkat inflasi 2011 (3,8%). Tingkat
inflasi yang stabil di koridor target Pemerintah dan BI (4,5% ± 1%) didukung
oleh inflasi kelompok volatile foods
yang rendah dan inflasi inti yang terkendali dengan rendahnya imported
inflation sejalan dengan
penurunan harga komoditas pangan dan energi global. Meskipun ekspektasi inflasi
sempat berfluktuasi akibat wacana kenaikan BBM pada semester awal tahun 2012,
namun administered
prices tetap
terkendali seiring dengan tidak adanya kebijakan kenaikan BBM.
Grafik II : Tingkat Inflasi Indonesia (2008-2012)
POTENSI DAN PROSPEK PEREKONOMIAN
INDONESIA
Bercermin
dari kinerja perekonomian nasional tahun 2012 dengan ketahanan dan
kesinambungan pertumbuhan di tengah perekonomian global yang masih belum
menentu, maka perekonomian nasional tahun 2013 memiliki potensi besar untuk
terus tumbuh dan mencapai target makro ekonomi, seperti tingkat pertumbuhan
sebesar 6,8% dan tingkat inflasi sebesar 4,9%. Kekuatan pasar domestik dan arus
investasi yang semakin meningkat seiring dengan pengakuan rating investment
gradeoleh lembaga
pemeringkat internasional seperti S&P, Moody dan Fitch, merupakan modal
utama pertumbuhan.
Prospek
Indonesia sebagai negara dengan perekonomian nomor 16 di dunia, nomor 4 di Asia
setelah China, Jepang dan India, serta terbesar di Asia Tenggara, semakin
menjanjikan dengan melimpahnya sumber daya alam, pertumbuhan konsumsi swasta
dan iklim investasi yang kondusif. Namun ke depan masih terdapat tantangan
besar untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) yang saat ini berada pada
peringkat 50 dari 144 negara, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan
infrastruktur, kesehatan dan pendidikan, efisiensi pasar tenaga kerja,
penguasaan teknologi dan inovasi, serta kelembagaan.
Peningkatan
pendapatan per kapita menjadi US$ 3.660 membuat Indonesia masuk ke dalam
kategori negara berpendapatan menengah, dimana pertumbuhan ekonominya tidak
lagi dapat bergantung kepada sumber daya alam dan alokasi tenaga kerja murah (resources and
low cost-driven growth)
namun harus mampu menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dengan
memanfaatkan modal fisik dan sumber daya manusia terampil (productivity-driven
growth), agar
pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak stagnan dan terhindar dari jebakan negara
berpendapatan menengah (middle income trap).
Melalui program MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia) yang telah berjalan sejak tahun 2011, Pemerintah terus mempercepat
pengembanganberbagai program pembangunan untuk mendorong peningkatan nilai
tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur danenergi,
serta pembangunan SDM dan Iptek. Selain itu Pemerintah juga mendorong perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia agar efek positif dari pembangunan ekonomi
Indonesia dapat dirasakan di semua daerah dan oleh seluruh komponen masyarakat.
Diproyeksikan investasi yang dialokasikan untuk kegiatan proyek MP3EI pada
tahun 2013akan berjumlah Rp. 545,53 trilyun untuk 82 proyek infrastuktur dan 64
proyek di sektor riil yang menyebar di semua 6 koridor ekonomi, dengan porsi
terbesar di koridor Papua - Maluku (37,5%) dan koridor Jawa (21,22%).
Tabel III :
Tingkat Perekonomian dan Pendapatan Per Kapita di ASEAN(2010-2012)
Berlarut-larutnya penyelesaian
pemulihan krisis ekonomi di kawasan Eropa dan AS masih akan menghambat ekspansi
pertumbuhan ekspor. Pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin berlanjut pada
awal tahun 2013 hingga mendekati Rp.10.000/US$ di satu sisi membuat harga
produk ekspor Indonesia bertambah kompetitif dan di sisi lain dapat menahan
pembelian domestik terhadap produk impor yang harganya semakin tinggi. Namun
nilai tukar rupiah harus dijaga agar tidak menembus angka psikologis tersebut
mengingat kondisi perekonomian ke depan masih dibayang-bayangi dengan ancaman
kenaikan harga minyak dunia.
Beban
alokasi subsidi energi dalam APBN TA 2013 yang mencapai Rp. 274,7 trilyun
(subsidi BBM Rp 193,8 trilyun dan subsidi listrik Rp 80,9 trilyun) berpotensi
untuk bertambah apabila konsumsi BBM melebihi pagu 46 juta kl dan tidak
dilakukan penyesuaian harga. Selain itu keterbatasan produksi minyak dalam
negeri (lifting minyak tahun 2012 hanya mencapai 861 ribu barel per hari) menyebabkan Indonesia lebih banyak
mengimpor BBM (net
importer). Nilai impor
BBM setiap tahunnya sangat besar, yaitu US$ 28 milliar pada tahun 2011(yang
merupakan nilai komoditas impor terbesar dalam neraca perdagangan Indonesia)dan
berjumlah US$ 26 milliar hingga November 2012 atau sementara menempati nomor 2
terbesar di bawah impor mesin dan peralatan mekanik (US$ 26,2 milliar) sehingga
berpotensi untuk kembali menjadi komoditas impor terbesar pada penghujung tahun
2012 (Basri, 2013). Namun demikian penyesuaian harga BBM perlu dilakukan secara
seksama, baik waktu, tahapan dan besarannya mengingat akan diikuti oleh
kenaikan berbagai harga secara luas. Di sisi lain administered
inflation sudah pasti
akan meningkat akibat kebijakan kenaikan harga listrik sebesar 15% (secara
bertahap/triwulan) dan kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
Akhirnya
berbagai potensi dan peluang perekonomian yang ada harus dimanfaatkan dengan
maksimal dan didukung dengan bauran kebijakan fiskal dan moneter yang prudential, transparent dan accountable untuk memperluas penciptaan
lapangan pekerjaan dan mempercepat tingkat penurunan angka kemiskinan yang pada
bulan September 2012 tercatat sejumlah 28,59 juta orang (11,66%) atau telah
menurun dibandingkan akhir tahun 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36%).
Sumber
:
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6765&Itemid=29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar